Minggu, 05 Desember 2010

Pangantar Da'wah (Pendahuluan)

Pengertian Istilah da’wah
Da’wah adalah salah satu masdar dari kata kerja da’a—yad’u; masdar lainnya adalah du’â’, yang diindonesiakan menajdi doa .   
Dalam Al-Qurân, kedua masdar itu kadang digunakan dalam pengertian yang sama, sesuai dengan karinah (qarïnah) atau posisinya dalam kalimat. Contoh:
قال ربّ إنّى دعوت قومى ليلا و نهارا فلم يزدهم دُعَاءِى إلاّ فرارا…

(Nuh) mengeluh, “Tuhanku, aku benar-benar telah menda’wahi (دعوت) kaumku siang dan malam, tapi (kegiatan) da’wahku (دعاءى) itu hanyalah membuat mereka semakin lari (menjauh dariku)…[surat Nuh ayat 5).


وأنذرالناسَ يومَ يأتيهم العذابُ فيقولُ الذين ظلموا ربّنا أخِّرنا إلى أجل قريب نُجِبْ دَعْوَتَكَ و نتّبعِ الرسل …

Ingatkanlah manusia tentang saat munculnya azab, sehingga orang-orang zhalim mengemis, “Tuhan kami! undurkanlah sedikit ajal kami, (maka) kami akan menyambut da’wah anda (دعوتك) , yakni kami akan mematuhi para rasul…[surat Ibrahim ayat 44]

Demikian juga halnya makna harfiah kata kerja da’ â, ditentukan oleh karinahnya. Misalnya, da’â-hu (دعاه) bisa mempunyai dua arti, yaitu meminta kepadanya dan meminta tolong kepadanya (استعانه). Sementara da’ â fulânan (دعا فلانا) berarti menyebut atau menamakan seseorang, atau meminta seseorang untuk datang (= memanggil). Untuk makna meminta seseorang untuk datang (= memanggil), juga digunakan kata da’â bihi (دعا به). Sedangkan da’â -hu ilâl-amri (دعاه إلى الأمر) berarti mengajak atau  mendorong seseorang untuk menjalankan perintah atau melakukan suatu urusan.
Secara umum, menurut kamus bahasa Arab,  da’wah (dan juga du’a)  berarti ajakan, seruan, panggilan, undangan, tawaran, anjuran, dorongan, permintaan, permohonan, harapan dan  sebagainya. Secara khusus, sebagai istilah, da’wah yang kita maksud adalah da’wah ajaran Allah (Al-Qurân); sehingga bila kita gunakan segala pengertian harfiah da’wah itu, maka da’wah yang kita maksud adalah ajakan, seruan, panggilan, undangan, tawaran, anjuran, dorongan, permintaan, permohonan, harapan  untuk hidup dengan ajaran Allah (Al-Qurân).
Demikianlah pengertian harfiahnya. Pengertian itu tidak bisa memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang da’wah, baik yang sudah kita ketahui secara apriori (tidak langsung) maupun yang dikehendaki Allah dalam Al-Qurân.

Hipotesis
Kajian kita tentang da’wah ini berangkat dari apriori; yaitu dari pengetahuan awal tentang da’wah yang sudah kita terima dari berbagai sumber (guru, bacaan, dsb.), yang tentu tidak bisa dibuang begitu saja sebelum mengetahui pengertian yang sebenarnya yang bersumber dari Al-Qurân dan Al-Hadits.
Dengan menggunakan pengetahuan yang bersifat apriori itulah, di sini saya ajukan sebuah hipotesis bahwa istilah da’wah (الدعوة) pada dasarnya bisa digambarkan sebagai Siapa menyampaikan Apa dengan cara Bagaimana kepada Siapa untuk mencapai Apa. Untuk lebih jelasnya hipotesis tersebut kita uraikan sebagai berikut:

Siapa 1, adalah pokok permasalahan tentang para pelaku da’wah (الداعى). Jadi, siapa di sini bermakna majemuk, bukan hanya untuk satu orang. Lebih tegasnya lagi, siapa di sini digunakan untuk menyebut pribadi-pribadi (setiap orang) yang melakukan kegiatan da’wah, baik mereka tergabung dalam suatu organisasi (lembaga) yang menjalankan proses da’wah, ataupun yang hanya menjalankan da’wah secara sendirian (individual). Merekalah yang selama ini bertanggung-jawab sebagai para pelaksana kegiatan da’wah, dan karena itu pula mereka pun bertanggung-jawab atas segala hasil kerja da’wah yang nampak.

Apa 1, adalah pokok pembahasan tentang bahan (materi) yang mereka sampaikan, baik secara lisan maupun lewat tulisan, yang mereka sampaikan dalam berbagai kesempatan dan media (buku, majalah, koran buletin, brosur dsb). Materi da’wah yang mereka sampaikan tentu sangat berkaitan dengan hasil da’wah yang nampak dalam kenyataan hidup umat Islam.

Bagaimana, adalah pokok pembahasan tentang kiat atau teknik penyampaian bahan. Titik beratnya adalah pada ketrampilan da’i dalam menyajikan bahan di medan da’wah.

Siapa 2, adalah pokok pembahasan tentang sasaran da’wah yang mereka tuju atau garap, yakni pengenalan (identifikasi) kelas-kelas masyarakat atau kelompok-kelompok mad’u.

Apa 2, adalah pokok pembahasan tentang tujuan-tujuan da’wah yang hendak mereka capai, dan hasil-hasil yang bisa kita saksikan.

Untuk lebih jelasnya, marilah pokok-pokok permasalahan di atas itu kita urai satu demi satu, dengan lebih dulu memeriksa beberapa buku tentang da’wah.
Perlu dicatat bahwa buku-buku tentang da’wah yang beredar di pasaran jumlahnya sangat sedikit, dan kebanyakan berukuran tipis, sehingga otomatis kandungan isinya menjadi sangat miskin. Sementara yang agak tebal juga umumnya belum mampu memberikan gambaran tentang da’wah Al-Qurمn secara cukup utuh.

Para pelaksana da’wah (da’i)
Syaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al Kandahlawi r.a. mengatakan dalam bukunya, Fadhâilil-A’mâl bab Fadhilah Tabligh mengutip surat Fussilat ayat 33:

ومَن أحسنُ قولا مِمن دعا إلى الله وعمِل صالحا و قال إنّنى مِن المسلمين

Siapakah yang lebih baik da’wahnya daripada orang yang berda’wah untuk menegakkan ajaran Allah seraya (ia sendiri) melakukan tindakan yang tepat (shalih) serta menegaskan, “Sungguh, aku ini hanyalah seorang muslim (patuh terhadap Allah).

Kemudian ia  menulis:

…para Nabi a.s. berdakwah dengan cara memperlihatkan mukjizat, para ulama berdakwah dengan hujjah dan dalil-dalil, para mujahid berdakwah dengan pedangnya, para muadzdzin berdakwah dengan adzannya. Pendek kata, barangsiapa menyeru manusia kepada kebaikan, maka dia berhak mendapatkan kehormatan seperti disebutkan ayat di atas, baik menyeru kepada amalan zhahir ataupun amalan batin seperti para ahli tasawuf yang mengajak kepada ma’rifatullah (mengenal Allah).

Dr. Sayyid Muhammad Nuh menulis dalam Fiqhud Da’wah al Fardiyyah fil Manhajil Islami:

… kaum muslimin dengan kemampuannya yang ada pada dirinya, bisa menjadikan setiap amal yang diperbuat dan setiap aktifitas yang dilaksanakan sebagai jalan untuk berda’wah menunjukkan manusia ke  jalan yang lurus. Seorang dokter, insinyur, astrolog, geolog, ahli sejarah, apoteker, petani, pedagang, pengrajin dan lain sebagainya —dengan ilmu yang mereka miliki— amat potensial untuk menjadi du’at ilallah.  Ini tentunya apabila mereka betul-betul itqan (bersungguh-sungguh) dengan profesinya. Serta berkeyakinan bahwa profesi yang ditekuni itu adalah sarana untuk bertaqarrub kepada Allah. Titik tolak dari kerangka ini adalah bahwa setiap manusia mempunyai amal untuk dijadikan ma’isyah yang dengan amal itu pula ia bisa memberi manfaat kepada sesamanya. Sedangkan da’wah adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan siapa saja.
Keseimbangan ini tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali manakala seorang muslim menjadikan seluruh hidupnya untuk berda’wah ilallah. Kaum muslimin generasi awal telah memahami hakikat ini. Mereka berda’wah dan mengajak manusia ke dalam pangkuan Islam dengan cara memanfaatkan profesi keseharian mereka baik sebagai guru, pedagang atau petani. …

    M. Natsir, dalam buku Fiqhud Da’wah, menulis:

…da’wah dalam arti yang luas, adalah kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap Mulsim dan Muslimah. Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan daripadanya.
Da’wah dalam arti amar ma’ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawaan fithrah manusia selaku social being, (makhluk ijtimaie); dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah: oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul!
Bukan monopoli golongan yang disebut “Ulama” atau “Cerdik-Cendekiawan”.
Bagaimana suatu masyarakat mendapat kemajuan apabila para anggotanya yang mempunyai ilmu, banyak sedikitnya, baik dunia atau diny, tidak bersedia mengembangkan apa yang ada pada mereka di antara sesama anggota masyarakat?
Suatu illmu yang bermanfaat, tiap-tiap yang khair dan ma’ruf, yang baik, patut dan pantas, bisa terbit dari tiap seorang anggota masyarakat. Dan tiap-tiap benih kebenaran itu mempunyai daya berkembangnya sendiri; tinggal lagi menaburkan dan memupuknya.
Oleh karena itu pembawa Risalah berpesan:

بَلِّغُوا عَنِّى وَلَو أَيَةً

Sampaikanlah daripadaku sekalipun satu ayat. (“Ayat” dalam arti luas).

Tiga kutipan di atas  boleh dikatakan sudah cukup untuk mewakili pandangan umum para ahli dari luar dan dalam negeri; yang pertama mewakili ulama India, yang kedua mewakili ulama Arab, yang ketiga mewakili ulama Indonesia. Mereka sepakat menyatakan bahwa da’wah pada hakikatnya merupakan kewajiban setiap pribadi, sesuai dengan kadar kemampuannya.
Sayangnya, mereka tidak memaparkan bagaimana cara untuk membuat setiap pribadi bisa tampil sebagai da’i. Apakah mereka dibiarkan tumbuh sendiri, atau ada sistem yang bisa menjamin agar setiap orang berperan serta dalam kegiatan da’wah? Dari buku-buku yang ada, terkesan bahwa sistem itu tidak ada, dan nampaknya buku-buku itu memang ditulis hanya untuk orang-orang yang ingin menjadi da’i profesional. Bahkan ada kesan bahwa da’i adalah “orang yang dilahirkan sebagai da’i” (lahir dengan membawa bakat da’i), bukan dibentuk melalui semacam proses pendidikan.
Ada sebuah buku berjudul Kepribadian Dai yang ditulis Dr. Irwan Prayitno. Dilihat dari judul dan tebalnya (734 halaman) buku ini tampak ‘menjanjikan’ sebagai pedoman pembentukan pribadi da’i yang utuh dan tangguh. Tapi, setelah diperiksa, ternyata sistematika penyusunannya (daftar isinya) demikian rancu, sehingga kita jadi bingung tentang kepribadian da’i macam apa yang hendak dibentuk buku ini. Selain itu, cara penulisannya  juga tidak menarik.

Bahan (materi) da’wah
Sepanjang penelitian penulis, di antara mereka (bukan hanya yang tiga orang itu) belum ada satu pun yang menegaskan bahwa da’wah yang dimaksud adalah da’wah dalam rangka menyampaikan (mengajarkan) Al-Qurân.
Mereka pada umumnya hanya menyatakan bahwa da’wah yang dimaksud adalah menyampaikan ajaran Islam; dan yang mereka maksud dengan ajaran Islam itu pada akhirnya muncul dalam wujud ilmu tauhid, fiqh, akhlaq, dan tasawuf. Sementara penyampaian Al-Qurمn hanya dilakukan dengan cara mengajar membaca, mulai dari mengeja, meningkat pada pelajaran tajwid, dan berpuncak pada pelajaran melagukan bacaan dengan berbagai lagu.
Ada juga mereka mengajarkan hafalan dan tafsir Al-Qurân, tapi hanya untuk kalangan khusus (biasanya para calon da’i).
Sebuah lembaga penghafalan Al-Qurân bernama Jam’iyah Litahfidh Al-Qur’an (disingkat JatiQu), memberikan gambaran bagaimana mereka menyampaikan Al-Qurân kepada masyarakat. Dalam selebarannya yang, antara lain, menawarkan program bimbingan menghafal, membaca dan tahsin Al-Qurân, tertulis juga tawaran tentang tafsir tematik:

Dapat membaca Al-Qur’an seharusnya juga diringi dengan pemahaman makna kandungannya. Di sini juga para pengajar dapat memberikan bimgingan Tafsir melalui tema-tema yang disesuaikan dengan kecende-rungan masyarakat (sebagai pemecahan masalah kehidupan pribadi). Misalkan yang jadi pedagang, tafsir yang dikaji ayat-ayat tentang berdagang, begitu juga yang bergerak dalam hal perbankan dsb.

Jadi, boleh dikatakan program da’wah mereka pada umumnya bersifat memberikan pandangan umum tentang Islam, kemudian pokok-pokok kepercayaan yang terdapat dalam rumusan Rukun Iman, disusul dengan petunjuk-petunjuk praktis ibadah (ritual) seperti yang dirumuskan dalam Rukun Islam, dan diakhiri dengan gambaran-gambaran perilaku baik dan mulia dalam rumusan akhlaq/tasawuf.

Kaifiat (strategi & taktik) da’wah
Dalam buku-buku tentang da’wah, kaifiat atau strategi dan taktik da’wah pada umumnya cuma dikemukakan sisi teknisnya, khususnya tentang “bagaimana cara mengajar” (how to teach). Dalam buku karangan M. Natsir yang menjadi kebanggaan Dewan Da’wah Islamiyah Jakarta, Fiqhud Da’wah, pada bab Kaifiat Dan Adab Da’wah, yang dibahas cuma sekitar Hikmah dalam arti mengenal golongan, Hikmah dalam arti kemampuan memilih saat, bila harus bicara, bila harus diam, Hikmah dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik pertemuan, sebagai tempat bertolak, untuk maju secara sistematis, Hikmah tidak melepaskan sibghah, Memilih dan menyusun kata yang tepat, Hikmah dalam cara perpisahan, Hikmah dengan arti Uswah Hasanah dan Lisanul Hal, … Mawaddah Fil-Qurba: Jembatan Rasa…
Kadang terkesan pada kita bahwa berda’wah itu sama dengan berpidato atau berceramah saja, sehingga dalam buku-buku, juga di perguruan tinggi yang mengajarkan da’wah, dalam arti how to teach itu, diajarkanlah ilmu kemahiran berpidato (retorika), agar pidato itu memikat dan mengesankan.
Fathi Yakan, misalnya, mengatakan:

Seorang da’i  dapat dianggap sukses jika ia mempunyai kemampuan memberikan kesan mendalam pada orang-orang yang menerima seruan dan buah pikirannya, walaupun mereka itu mempunyai perbedaan dalam cara hidup dan tradisi atau latar belakang sosial. Bahkan ia mampu menguasai dan mempengaruhi perilaku serta pikiran sejumlah orang sekaligus. Dengan demikian, penguasaan da’wah sebagai suatu keampuhan dan ketinggian budi atau kesucian iman yang dianugerahi Allah akan sangat menentukan kedudukan para da’i sebagai pemberi petunjuk danpimpinan masyarakat, serta sanggup menghimpun orang banyak dan menarik perhatian atau simpati mereka.

Saya menemukan sebuah buku yang judulnya cukup menarik, yaitu Cara Para Nabi Berdakwah, karangan Syaikh DR. Rabi’ Bin hadi ‘Umair Al-Madkhaly. Dari buku ini, semula saya berharap untuk mendapatkan gambaran tentang da’wah para nabi secara utuh. Tapi ternyata, dalam buku ini pun gambaran tentang da’wah para nabi itu boleh dikatakan kabur. Penulisnya cuma memberikan gambaran umum bahwa da’wah-da’wah setiap (para) nabi, pertama, setiap mereka berjalan di atas manhaj yang menyeru kepada tauhidullah, dan hanya menyembah kepadaNya. Kemudian, mereka menerima penghinaan, pendustaan dan celaan dari kaumnya, …  Selanjutnya, digamabarkanlah bagaimana penderitaan Nabi Nuh, Ibrahim, Yusuf, Musa, dan Nabi Muhammad dengan para sahabatnya.
Buku lainnya, yang cukup menarik adalah Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi, karangan Ali Mustafa Yaqub. Tapi, sekali lagi, dari buku ini pun kita tidak bisa mengharapkan untuk mendapatkan gambaran utuh tentang da’wah Nabi Muhammad. Yang ‘menarik’, buku ini agaknya ditulis karena penulisnya tergelitik menyaksikan sejumlah artis yang kadang tampil berda’wah, dan sejumlah mubaligh yang akrab dengan para artis dan dunia mereka yang ‘menyerempet-nyerempet bahaya’. Dalam kesimpulannya, ditegaskan oleh penulis bahwa hal itu tak pernah dilakukan oleh Nabi.

Sasaran da’wah (mad’u)
Jamaluddin Kafie, dalam bukunya yang berjudul Psikologi Dakwah menjelaskan tentang obyek (sasaran) da’wah demikian:

Sudah jelas kiranya bahwa objek dakwah adalah manusia, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, massa dan umat seluruhnya. Sudah jelas pula bahwa setiap insan yang normal, dewasa dan beradab, pada umumnya mempunyai cita-cita mencapai kebahagiaan hidup. Cita-cita yang luhur itu kemudian dimanifesta-sikan dalam bentuk keinginan-keinginan yang akhirnya mengarah kepada tujuan hidupnya di dunia ini. Dakwah sudah menggaris bawahi tujuan manusia itu serta memasukkannya ke dalam agenda jadwal tugasnya amar ma’ruf — nahi mungkar.
Manusia sebagai objek dakwah dapat digolongkan menurut klasnya masing-masing serta menurut lapangan kehidupannya. Akan tetapi menurut pendekatan psikologis, manusia hanya bisa didekati dari tiga sisi, yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk ber-Ketuhanan.

    Sungguh memprihatinkan, buku-buku tentang da’wah yang ada di pasaran tidak satu pun yang berusaha mengurai pembagian sasaran da’wah berdasarkan paparan Al-Qurân.

Tujuan da’wah
Para penulis buku tentang da’wah pada umumnya tidak menggambarkan dengan gamblang tentang tujuan akhir da’wah. Segi ini merupakan titik terlemah dari buku-buku da’wah itu.
Ali Mustafa Yaqub, misalnya, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi, pada bab Tugas-tugas Pokok Nabi SAW, menyatakan bahwa tugas mereka (para rasul) sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw adalah sama, yaitu:

Menyeru umat manusia untuk hanya beribadah kepada Allah.
Menyampaikan ajaran Allah kepada manusia.
Memberikan hidayah kepada umat manusia.
Memberikan teladan yang baik.
Memperingatkan manusia tentang kehidupan akhirat.
Mengubah orientasi duniawi menjadi orientasi ukhrawi.

Ini hanya salah satu contoh dari seorang ‘pakar’ yang bingung membedakan antara TIU dan TIK da’wah. Atau dengan kata lain, sang pakar ini bingung membedakan antara pandangan deduktif (umum) dan induktif (khusus) tentang apa yang disampaikan para rasul, yakni ajaran Allah. Coba perhatikan keenam butir di atas! Bukankah, dalam sistematika ilmu yang benar, seharusnya ia menempatkan butir kedua pada urutan pertama? Setelah itu, butir-butir selainnya pada hakikatnya hanyalah mewakili aspek-aspek khusus dari butir pertama (ajaran Allah).
    Jamaluddin Kafie mengatakan bahwa ilmu da’wah sampai sekarang belum ada pengakuan secara resmi sejak kapan ia disebut “Dakwatologi”. Masalahnya bagi kita bukan lah pengakuan resmi tentang ilmu da’wah, tapi yang disebut  ilmu da’wah yang sudah dikembangkan dan diterapkan sekarang itu sudah bernilai ilmiah atau belum? Artinya, bila ia disebut ilmu, maka di dalamnya sudah harus tercermin atau tersimpul dasar-dasar (prinsip) keilmuan yang diakui, yaitu harus mencakup metode (prosedur) yang jelas dan pasti, sistematika (paparan, atau rangkaian keterangan yang runtun dan kompak), analitika (pendataan, keterangan pembuktian), dan obyektifita (kebenaran yang gamblang, sehingga bisa direkonstruksi). Bila hal-hal seperti itu bisa kita temukan, maka sah lah ia sebagai ilmu. Sayang, pada buku-buku tentang da’wah yang ada, kita tidak menemukan hal itu. Apa yang disebut Jamaluddin Kafie sebagai “Dakwatologi” itu, kenyataannya hanyalah menumpang pada ilmu komunikasi.
Seperti dirumuskan Lasswell, komunikasi pada hakikatnya mempunyai lima unsur, yaitu Siapa mengatakan Apa kepada siapa melalui Saluran Mana dengan dampak Apa? (Who says What to whom through Which Channel with What effect?). Atau, seperti terkesan dari buku-buku yang ada, yang disebut ilmu da’wah itu bahkan tampak hanya nebeng pada retorika.
Ilmu da’wah memang ada hubungannya dengan ilmu komunikasi dan retorika. Bahkan, boleh jadi ilmu komunikasi dan retorika hanyalah sempalan saja dari ilmu da’wah yang diajarkan Allah kepada para rasul. Bila kita mempelajari ilmu komunikasi, lantas dari situ  kita menyusun ilmu da’wah, tegak lah ilmu komunikasi yang dikembangkan manusia, dan sebaliknya hancur lah ilmu da’wah yang diajarkan Allah dan dikembangkan para rasul. ∆

1 komentar: