Minggu, 05 Desember 2010

M a r i j a n



Nama itu mungkin berasal dari bahasa Arab, marjãn (permata dari batu karang merah), yang penyebutannya bisa ditemukan dalam Al-Qurãn (surat Ar-Rahmãn ayat 22 dan 58 ). Ini salah satu isyarat yang menandai adanya pengaruh Arab (Islam) terhadap orang Jawa, terutama mereka yang hidup di seputar keraton. (Ingat kisah tentang pada penyebar Islam di Jawa, yang dikenal sebagai Wali Sanga).
Bagi masyarakat Jawa sendiri, Marijan mungkin bukan nama yang unik. Bahkan Mbah Marijan sebagai sebuah pribadi pun, bagi orang yang mengenal bagaimana “manusia Jawa” bukanlah pribadi yang unik.
Sebagai tipologi abdi dalem keraton (ke-ratu-an, kerajaan), khususnya Jawa,  orang seperti Marijan bukanlah contoh satu-satunya. Ia adalah ‘wakil’ (representasi) dari segolongan manusia yang – notabene –memandang raja sebagai pusat pengabdian, karena raja adalah titisan atau perwujudan Sang Mahakuasa. Karena itu, kepatuhan manusia seperti Marijan terhadap raja adalah kepatuhan yang bukan hanya penuh hormat (pemuliaan) dan khidmat (pengabdian), tapi juga cinta. Dan bukan sembarang cinta pula, tapi cinta mati. Maka tidak perlu heran bila manusia jenis ini juga mempunyai kesetiaan yang tak pernah pudar atau luntur, karena kesetiaan itu sudah melebur dalam darah yang mengaliri seluruh tubuh. Bahkan ketika ruh (spirit) pengabdian itu sudah tak mampu lagi mengalirkan darah ke sekujur tubuh, karena sang tubuh hangus tersambar wedhus gembel (sebutan penduduk sekitar Merapi untuk awan panas yang disemburkan sang gunung), ia masih berusaha untuk meninggalkan sang tubuh dalam posisi sujud, sebagai lambang pengabdian yang – mudah-mudahan –  akan selalu dikenang.
Tapi, walaupun kebanyakan orang tidak mau mengenang; mungkin karena ketidakpedulian atau kesibukan masing-masing yang amat sangat padat, ruh Marijan akan selalu menemukan tempat singgahnya, setidaknya ke anak-cucu; sebagaimana dulu ruh itu juga menitis dari atas ke dalam diri Marijan.
Ya. Marijan memangku jabatan (sejak tahun 1982) sebagai juru kunci adalah ‘titisan’ (baca: warisan) dari ayahnya (Mbah Darso), diawali dengan menjadi wakil sang ayah (tahun 1970). Dan begitu juga selanjutnya Marijan menitiskan kepada salah seorang putranya, yang kini menjadi abdi dalem keraton Yogya, yang sudah siap melanjutkan estafet pengabdian sakral itu.

Marjãn abdi keraton
Marijan (ejaan lama: Maridjan) adalah merjan (permata) para abdi keraton, yang kilaunya baru memijar dan menjadi pusat perhatian pada tahun 2006. Bulan Mei tahun itu, “yang lenggah (duduk; bertahta) di gunung Merapi untuk kesekian kali menyelenggarakan ‘hajat’, yang ditafsirkan orang di luar sebagai gejala-gejala gunung Merapi akan meletus. Ketika ‘hajatan’ itu ditafsirkan para pengamat modern sebagai keadaan Merapi yang berstsatus “awas”, sehingga para penduduk harus mengungsi, (Mbah) Marijan bertahan di tempat tinggalnya di dusun Kinahrejo. Ia bahkan tidak peduli walau permintaan untuk mengungsi datang dari presiden dan sultan Yogya sendiri.
Banyak orang menafsirkan – dan kemungkinan besar itu benar – bahwa Marijan hanya bersedia patuh kepada raja yang memberinya jabatan juru kunci dan gelar Mas Penewu Suraksohargo-1, yaitu Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian,  ia – harap maklum! – hanya memandang Sultan HB X sebagai seorang gubernur NKRI. Dan hal itu memang diucapkan olehnya pada waktu itu. “Bila beliau (Sultan HB X) memerintahkan demikian (menyuruhnya mengungsi, red), berarti beliau seorang gubernur,” katanya.
Kesetiaan terhadap satu pihak bisa (otomatis) menyebabkan pembangkangan terhadap pihak lain. Itu hukum alam alias sunnatullah, karena Allah tidak menciptakan dua hati di satu rongga dada. Tapi itu hanya berlaku bagi orang yang sadar betul bahwa “hidup adalah pilihan”, sehingga langkah berikutnya setelah memilih adalah menunjukkan totalitas pengabdian, apa pun risikonya.  Itulah prinsip yang dipegang  teguh Marijan. Dan untuk menegaskan prinsipnya itulah Marijan mengatakan kepada orang-orang yang bertanya mengapa ia tak mau mengungsi, "Kalau memang mereka (penduduk yang tinggal di lereng Merapi) merasa sudah waktunya mengungsi, mereka harus mengungsi. Jangan hanya manut (ikut) orang bodoh yang tidak sekolah seperti saya."
Benarkah Marijan “orang bodoh” karena “tidak sekolah”?
Tidak!
Perkataan Marijan adalah sebuah isyarat. Sebuah peringatan bahwa “kebenaran” tidak harus selalu diukur dengan “ilmu sekolahan”. Lebih-lebih lagi bila yang dibicarakan adalah soal falsafah hidup.
Seorang teman mengatakan bahwa Marijan adalah contoh manusia idealis Platonis sejati, yang menempatkan “ide” (idea) sebagai pemandu hidup.
Dalam terminologi Jawanya (walau berasal dari bahasa Arab!), ide itu adalah batin. Marijan memang adalah manusia yang setia pada kata batin; yang isinya tiada lain adalah falsafah hidup orang Jawa lingkaran keraton.
Sementara itu, kebanyakan kita adalah manusia naturalis bentukan lembaga sekolah; yang sering kali menempatkan batin sebagai hamba bagi nature (alam;  benda, materi). Karena ‘suara alam’ lah para pejabat BPPTK (Badan Penyelidikan dan Pengembangan Kegunung-apian) dan semua ‘orang sekolahan’ berteriak-teriak menyuruh rakyat menyingkir dari Gunung Merapi, dan karena ‘suara batin’ lah Marijan dan sejumlah penduduk tetap bertahan di tempat tinggal mereka.
Ketika ternyata Gunung Merapi meletus seperti telah diisyaratkan ‘kaum naturalis’ melalui hasil pengamatan mereka atas alam, ‘kaum idealis’ dengan Marijan sebagai salah satu figurnya (seperti) jatuh sebagai pihak terkecundang (kalah).
Tapi, benarkah bahwa Marijan kalah?
Secara fisik dan fragmatis, Marijan memang kalah. Tubuh tuanya tak mampu melawan terjangan awan panas. Tapi, secara batin (idea), kalahkah dia?
Tidak.
Kematiannya justru semakin menguatkan gaung suara batinnya, bahwa untuk menjadi bernilai itu manusia harus menjadi pengusung atau personifikasi – atau bahasa Al-Qurãnnya fã’il (pelaku) – dari sesuatu yang memang merupakan saripati dari segala nilai, yaitu idea atau konsep atau falsafah.
Terserah idea atau konsepnya berasal dari mana atau milik siapa. Itu soal lain.
Marijan hanya contoh dari orang yang konsisten (istiqamah) dalam menghidupi atau menghidupkan sebuah falsafah, bahkan sampai kehidupan lahirnya sendiri berakhir.
Salam hormat untukmu, Mbah Marijan!

2 komentar:

  1. ada kesan kalisa menghormati mbah maridzan berlebihan, tapi kurang menyoroti ide yg diusung maridjan adalah idealisme yg sebenarnya berbau mistis tentu saja ide tersebut apa tidak perlu dipertajam sebagai ide yg terbukti spekulasi berakhir konyol yg merusak dan merugikan diri maridjan sendiri jika diperhatikan dari sudut pandang AQ msr..yg tentu saja kita semakin bisa ambil pelajaran akibat sial mereka yg hidup tak menentu mati tak berkuburan..atau mereka yg aduk2an akan mati konyol..bukan khusnul khatimah...bukti niat baik tidak cukup tanpa cara / jalan yg benar..itulah mbah maridjan..

    BalasHapus
  2. Anda punya kebebasan untuk menafsirkan tulisan ini.

    BalasHapus