Minggu, 05 Desember 2010

Beropini Atau Berekspresi Lewat Film

Tinjauan Subyektif Atas Film Sang Pencerah

Film, seperti banyak media lainnya, pada dasarnya adalah alat untuk mengajukan sebuah opini, atau bahkan ‘hanya’ sarana sutradara berekspresi, mengungkapkan sesuatu yang mengganjal di hati. Bedanya dengan sarana-sarana yang lain, film dibantu dengan segala perangkat teknologisnya untuk mempunyai daya ‘sihir’  (pesona) lebih kuat, setidaknya ketika penonon masih terkungkung dalam ruang jebakan bernama gedung bioskop. Apalagi bila yang dihidangkan di ruang gelap tersebut adalah sebuah karya yang dari segi artistiknya tergolong jempolan, seperti karya Hanung Bramantyo.

Melalui film terbarunya yang boleh dikatakan fenomenal, Sang Pencerah, Hanung Bramantyo –  agaknya – ingin mengekspresikan ‘kekesalannya’ atas peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus “kekerasan atas nama agama” yang sering terjadi di Indonesia belakangan ini, khususnya yang menimpa kelompok Ahmadiyah. Karena itu, tak heran bila ada kritikus yang menyebut bahwa Hanung menemukan konteks (kaitan) filmnya ini pada Ahmadiyah.
Jadi, kendati ada penegasan bahwa Sang Pencerah adalah sebuah film tentang Ahmad Dahlan, yang hendak ditonjolkan Hanung adalah ‘keluhannya’ tentang perlakukan terhadap Ahmadiyah? Tampaknya iya. Terutama bila memperhatikan dramatisasi yang sedemikian rupa pada adegan perobohan langgar (mushalla) Ahmad Dahlan, yang dilakukan oleh para kaki-tangan kaum muslim tradisionalis. Tapi, tentu saja Hanung boleh membantah.
Saya tentu boleh juga mengaku sebagai “penonton yang beruntung”, yang tak begitu tahu tentang biografi Ahmad Dahlan, sehingga melalui film Hanung inilah saya baru tahu bahwa nama asli beliau adalah Darwis. Dan, dengan amat terheran-heran – seperti juga banyak penonton lain – saya pun baru tahu bahwa Ahmad Dahlan pandai bermain biola, serta tangkas pula menjadikan alat musik tersebut sebagai ‘senjata’ berda’wah!
Jauh sebelum adegan itu, saya pun sempat meneteskan air mata mengetahui bahwa Darwis (yang kemudian jadi Ahmad Dahlan) ternyata “pergi haji” selama 5 tahun!  Saya terharu ketika membandingkan hajinya Darwis ternyata jauh berbeda dengan cara berhaji kebanyakan orang sekarang. Darwis berhaji bukan hanya untuk mengejar tunainya sebuah kewajiban ritual, tapi yang terutama ia pergi ke Tanah Suci dengan niat menuntut ilmu agama! Dan, ketika ia pulang ke tanahairnya, ilmu yang diperolehnya pun segera diterapkan untuk melakukan sebuah gerakan ‘pembaruan’.
Ia memulai gerakan itu dengan mengoreksi arah kiblat (hadapan) shalat!
Bila itu dimaksudkan sebagai simbol, maka yang dilakukan Ahmad Dahlan (atau Hanung!) adalah sebuah tindakan awal yang sangat jitu. Kiblat (qiblah) shalat adalah simbol dari landasan (orientasi) berpikir seseorang atau suatu golongan (mazhab). Perbedaan atau pergeseran kiblat bisa jadi merupakan awal dari timbulnya gesekan-gesekan (friksi) dan bahkan pertentangan keras. De facto, itulah yang terjadi ketika Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 di Kauman (Yogyakarta), dan kemudian disusul dengan pembentukan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai reaksi atasnya (Surabaya, 13 Januari 1926).
Nah!  Di sini cerdiknya – atau ‘penakut’nya – Hanung Bramantyo. Dalam filmnya yang katanya tentang Ahmad Dahlan, yang notabene pendiri Muhammadiyah itu, Hanung seperti sengaja mengesampingkan fakta sejarah tentang friksi-friksi berkepanjangan yang terjadi di antara Muhammadiyah dan NU. Tapi, seandainya pun Hanung cukup berani mengungkapkan fakta itu, maka bisa dipastikan filmnya bakal menjadi sarana pengungkap luka lama! Dan, tentu saja bukan itu yang dikehendaki Hanung Bramantyo.
Justru karena itulah menjadi semakin nyata betapa melalui filmnya ini Hanung ‘hanya’ ingin mengajukan sebuah opini atas kenyataan bangsa masa kini yang disaksikan dan mengganggu ‘perasaan keagamaannya’; sehingga boleh dikatakan bahwa film Sang Pencerah adalah wakil dari pandangan keagamaan (ke-Islam-an)
Hanung. Sebuah pandangan yang sebenarnya tidak unik, tapi menjadi berdaya ‘sihir’ lebih kuat karena disampaikan lewat bahasa film!
Seperti disinggung sejumlah kritikus, film Sang Pencerah  ini mengandung banyak hal yang bersifat penyederhanaan (simplifikasi). Selain itu, ada juga simbolisasi yang kurang kena sasaran. Kekerasan-kekerasan terhadap Ahmadiyah, misalnya, disamping bukan soal berlatar belakang sederhana, juga kurang tepat disejajarkan dengan kekerasan yang ditimpakan terhadap Ahmad Dahlan, meski pun sama-sama dianggap sebagai “sesat”.
Tapi –  ini yang perlu dipahami kita semua – bagaimana mungkin dari sebuah film yang dibuat untuk sekali putar (bukan film serial) bisa kita tuntut kelengkapan?
Film sekali putar hanya alat melempat opini atau ekspresi. Dan kita boleh suka atau tidak. Boleh setuju atau tidak.
Yang pasti, setuju atau tidak, suka atau tidak, film Hanung ini asyik untuk ditonton berbagai usia dan kalangan. Itulah sukses Hanung Bramantyo, salah satu sutradara muda berbakat kita.
 Salut!

Ringkasan cerita (sinopsis)
Jogjakarta 1867 -1912:
Sepulang dari Mekah, Darwis muda (Ihsan Taroreh) mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah Bid’ah /sesat

Melalui Langgar / Surau nya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah di Masjid Besar Kauman yang mengakibatkan kemarahan seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo) sehingga surau Ahmad Dahlan dirobohkan karena dianggap mengajarkan aliran sesat. Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir hanya karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda.

Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman. ∆

Tidak ada komentar:

Posting Komentar