Jumat, 04 Februari 2011

Surat Al-Baqarah: Tentang Nama Surat Dan Huruf-huruf Misterius


Sapi kuning mulus
Al-Baqarah dalam terjemahan di Indonesia selalu diartikan “sapi betina”. Itu dilakukan dengan mengikuti rumusan ilmu sharaf tingkat dasar; yaitu bahwa bila di belakang kata benda terdapat huruf tã’ marbûthah (tã’ bundar), maka kata benda itu masuk ke dalam jenis perempuan (mu’annats; feminine gender).
Di lain pihak, ternyata penambahan huruf tersebut tidak selalu mengubah kata benda jenis lelaki (mudzakkar; masculine gender) menjadi wanita, tapi hanyat menyatakan satu, sebuah, sekelompok. Misalnya, umam(un) berarti bangsa-bangsa atau kaum-kaum, maka ummatun (ummah) adalah satu bangsa atau satu kaum. Atau, bila syajar(un) berarti pohon-pohon, syajaratun (syajarah) adalah sebatang pohon. Dengan demikian, bila baqar(un) berarti (seluruh) sapi, maka baqaratun (baqarah) adalah seekor sapi.
Apalagi bila pada kata baqaratun itu ditambahkan kata sandang al, sehingga menjadi al-bagaratu (al-baqarah), maka tentu pengertiannya (penerjemahannya) bisa menjadi lain lagi.
Dalam Al-Qurãn sendiri sendiri, kata al-baqaru (bentuk ma’rifah/definitive dari baqarun) disebut tiga kali, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 70, serta dalam surat Al-An’ãm ayat 144 dan 146. Dan, yang menarik, pada surat Al-Baqarah ayat 70, kata al-baqara digunakan Bani Isra’il sebagai sambutan atas informasi Musa bahwa Allah menyuruh mereka menyembelih baqaratan, seperti yang tertera pada ayat 67. Kemudian, pada ayat 71, Musa menjawab mereka dengan menggunakan lagi kata baqaratun. Jelasnya, bila hal itu diukur dengan teori ilmu sharaf tingkat dasar tentang penambahan tã’ marbûthah yang mengubah kata benda jenis lelaki menjadi jenis wanita, maka apa yang dilakukan Yahudi itu tentu sangat bodoh. Mengapa? Sebab, Musa menyebut agar mereka menyembelih “sapi betina”, tapi mereka menyambut dengan pertanyaan, “Sapi jangan macam apa?” Dalam bahasa anak muda sekarang, Yahudi ini rupanya nggak konek alias nggak nyambung.
Mungkin anda akan mengatakan bahwa Yahudi sengaja mengolok-olok Musa dengan cara seperti itu. Bisa jadi. Tapi, saya ingin menajamkan pengamatan pada ‘rasa bahasa’. Kita ambil contoh! Anda, misalnya, mengatakan kepada saya, “Tadi saya bertemu seorang lelaki.” Dalam pikiran anda, seorang lelaki itu tentu tergambar jelas, karena anda sedang menceritakan pengalaman sendiri. Sebaliknya, dalam pikiran saya sama sekali tidak terlintas ambaran seorang lelaki, tapi sejumlah lelaki, karena saya baru mendengar cerita yang belum lengkap. Maka, sangat masuk akal bila cerita anda itu saya sambut dengan pertanyaan, “Lelaki macam apa yang anda temukan?”
Perhatikan! Seorang lelaki jelas mengacu pada bilangan satu (khusus); sementara lelaki merujuk pada bilangan banyak (umum).
Itulah ‘kasus kebahasaan’ yang terjadi dalam dialogo antara Musa dengan bangsanya. Ketika Musa, di satu pihak, menggunakan kata benda tunggal, baqaratan, Yahudi (Bani Isra’il) bereaksi dengan menggunakan kata benda tunggal bermakna jamak, al-baqaru.  Jadi, sekali lagi, al-baqarah, tidak harus berarti sapi betina, tapi bisa jadi bermakna seekor sapi tertentu (khas).
Dan ternyata, kekhususan sapi itu menjadi tampak menyolok setelah kita periksa surat Al-Baqarah ayat 68-69 dan 71. Di situ disebutkan ciri-ciri sapi itu antara lain: tidak tua dan tidak muda; warnanya kuning tua dan enak dilihat; belum pernah digunakan untuk membajak atau menyiram tanah (sawah; kebun); keadaan kulitnya (yang kuning tua itu) mulus, tanpa bercak noda sedikit pun.
Gambaran demikian itu, mau tak mau, juga mengingatkan kita pada kisah tentang Samiri, yang konon membuat patung sapi dari emas, yang kemudian disembah Yahudi ketika Musa tidak hadir di tengah mereka. Sapi emas itukah gerangan yang dimaksud sebagai al-baqarah itu? Tapi, bukankah Allah menyuruh agar sapi itu disembelih? Bagaimana cara menyembelih (patung) sapi yang terbuat dari emas? Mengapa pula harus disembelih? Atau, bukankah perintah penyembelihan sapi itu berkaitan dengan terbunuhnya seorang lelaki? Itulah salah satu bentuk ‘teka-teki’ Al-Qurãn; yang jawabannya tidak selalu bisa diambil dari gudang teori bahasa. Jawaban itu mungkin terdapat dalam rumusan sastra, atau harus mengacu pada sebuah peristiwa sejarah (termasuk yang terekam dalam teks-teks hadis), dan lain-lain.
Dan, harap dicatat bahwa teori bahasa, rumusan sastra, data sejarah, dan lain-lain itu hanya manawarkan “kemungkinan-kemungkinan” asumptif (zhanni), bukan “kepastian” makna. Kepastiannya, apakah ‘bahan’ dari gudang bahasa, sastra, atau sejarah dan lain-lain yang tepat (proporsional), sangat tergantung pada qarïnah (konteks; indikasi; isyarat) yang ditunjukkan oleh Al-Qurãn itu sendiri. (Ingat dalil innal-qurãna yufassiru ba’dhuhu ba’dhan: sesungguhnya Al-Qurãn itu satu bagian dengan bagian yang lain saling menafsirkan).
Tentu saja anda bisa (dan boleh) membantah apa yang saya ajukan. Tapi – ini masalahnya! – terjemahan yang sudah dianggap mapan itu juga jelas sekali mengandung kekeliruan mendasar. Kata al-baqarah, misalnya, adalah gabungan dari kata sandang al dengan kata benda baqarah. Jadi, al-baqarah adalah sebuah kata benda berbentuk ma’rifah (definitif). Tapi, mengapa para penafsir kita menerjemahkannya menjadi sapi betina, yang jelas bermakna umum (mencakup semua sapi betina)? Padahal, bila benar-benar mau berpegang pada teori bahasa, kata al-baqarah harus diterjemahkan menjadi sapi betina ini atau sapi betina itu, atau si sapi betina atau sang sapi betina (hanya untuk seekor sapi betina tertentu). Atau, seperti diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, menjadi the cow.

Fungsi kata benda ma’rifah
Kata benda ma’rifah (definitif) – yaitu kata benda yang ditambah kata sandang al – dibentuk karena beberapa alasan. Antara lain, ia merupakan pengulangan dari gambaran benda (nyata/konkret maupun gaib/abstrak) yang sudah disebutkan. Misalnya dalam kalimat: Saya melihat seekor sapi (baqaratan) gemuk di ladang tadi pagi. Bila kalimat itu kemudian saya sambung dengan kalimat baru yang dimulai dengan kata Sapi itu (al-Baqaratu), maka yang saya maksud dengan “sapi itu” adalah ulangan dari kalimat di atas (Saya melihat seekor sapi gemuk di ladang tadi pagi). Dengan kata lain, kata benda ma’rifah in dibentuk untuk membedakan pengertiannya, yaitu dari pengertian umum menjadi pengertian khusus.
Alasan lain, kata benda ma’rifah dibentuk untuk mengubah sebuah kata umum menjadi sebuah istilah yang berkaitan dengan konteks wacana atau disiplin ilmu tertentu. Di sini kata benda ma’rifah – khususnya bila ia sebagai istilah – tidak bisa diterjemahkan secara harfiah, tapi harus dilihat dulu definisinya, yang disebut atau diisyaratkan oleh pembuat wacana (pembicara/penulis).
Istilah al-ïmãn(u), misalnya, tidak bisa diterjemahkan begitu saja menjadi kepercayaan, karena di satu pihak Al-Qurãn (misalnya melalui surat Al-Hujurat ayat 14) mengisyaratkan definisinya, dan di lain pihak Nabi Muhammad bahkan menetapkan definisi itu dengan begitu jelas (melalui hadis Ibnu Majah, Al-Bukhari, Muslim, Ath-Thabrani, dan Ibnu Najjar).

Tafsir alif-lãm-mïm
Al-Baqarah, seperti juga sejumlah surat lain dalam Al-Qurãn, diawali dengan huruf-huruf yang secara bahasa (linguistics; ‘ilmul-lughah) tidak mempunyai arti, yaitu alif-lãm-mïm.
Karena tidak terpahami secara bahasa, menjelmalah huruf-huruf itu menjadi huruf-huruf misterius sepanjang masa!
Banyak orang (penafsir) mencari-cari berbagai kemungkinan maknanya sesuai kemampuan masing-masing. Ada kalanya, yang diandalkan adalah kemampuan berimajinasi.
Secara umum, para ahli tafsir dalam hal ini terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, boleh dikatakan bersikap pasif, tidak mau menafsirkan huruf-huruf tersebut.
Mereka beranggapan bahwa huruf-huruf itu masuk ke dalam kelompok ayat-ayat mutasyãbihãt, yang menurut mereka semua pengertiannya hanya diketahui oleh Allah sendiri. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah Jalãluddïn Muhammad bin Ahmad Al-Mahally dan Jalãluddïn ‘Abdur-Rahmãn bin Abu Bakr As-Suyûthy. Mereka inilah yang kemudian terkenal sebagai “Al-Jalãlain(i)” (dua Jalal), karena bersama-sama menulis sebuah tafsir, yang selanjutnya kita kenal sebagai Tafsir Jalain(i); sebuah tafsir yang boleh dikatakan paling ringkas (edisi yang ada pada penulis, misalnya, hanya satu jilid yang terdiri dari 280 halaman), sederhana, dan mudah dipahami.
Kalimat pendek dalam (kitab) tafsir tersebut, Allahu a’lamu bi-murãdihi bihi (الله أعلم بمراده به) – Allah saja yang tahu makna huruf-huruf itu – adalah dalil yang paling sering disebut (dikutip) orang sehubungan dengan ‘huruf-huruf misterius’ tersebut. Ada kalanya dalil ini justru diajukan setelah yang bersangkutan memaparkan berbagai penafsiran.
Secara umum, para penafsir juga menyebut huruf-huruf itu sebagai al-hurûful-muqattha’ah (الحروف المقطّعة), alias huruf-huruf singkatan.
Karena dianggap sebagai huruf-huruf singkatan, maka otomatis ada sejumlah penafsir yang mencari-cari kepanjangannya.
Muncullah, antara lain, nama Ibnu ‘Abbas sebagai narasumber yang menyebutkan kepanjangan dari huruf-huruf itu. Al-Qurthubi, misalnya, mengutip Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa alif dari alif-lãm-mïm adalah kependekan dari Allah, lãm dari Jibril, dan mïm  dari Muhammad.
Kata Al-Qurthubi pula, entah dari narasumber siapa, alif adalah huruf  awal (miftãhun) nama Allah, lãm dari Lathïf (halus; lembut), dan mïm dari Majïd (mulia).
Masih dalam kutipan Al-Qurthubi, ada yang mengatakan bahwa alif-lãm-mïm adalah singkatan dari Ana AlLahu a’laM (Aku, Allah, paling tahu), dan alif-lãm-rã singkatan dari Ana AlLahu aRã (Aku, Allah, melihat). Anehnya, alif-lãm-shãd dikatakan sebagai kependekan dari Ana AlLahu afDhalu (Aku, Allah, paling mulia). Yang terakhir ini, bila tak ada salah ketik pada teks yang saya baca, sungguh ajaib, karena huruf shãd tiba-tiba berubah menjadi dhãd.
Karena begitu banyak versi yang dimunculkan sebagai kepanjangan dari “huruf-huruf singkatan” itu, semua akhirnya jatuh menjadi bernilai spekulatif belaka.
Tentu saja spekulasi demikian itu tidak akan berhasil memuaskan siapa pun (termasuk penafsirnya).

Isyarat dari Al-Qurãn
Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya yang amat terkenal, The Holy Qur’an, yang pernah diterjemahkan sedikitnya oleh tiga orang Indonesia (terakhir oleh Ali Audah), agaknya hanya seorang dari sedikit orang yang mengungkap penjelasan yang diisyaratkan oleh Al-Qurãn. Kata Abdullah Yusuf Ali (dalam terjemaan Ali Audah):
Secara logis harus kita perhatikan adanya faktor umum dalam Surah-surah yang didahului awalan-awalan huruf yang sama, dan faktor ini harus dibedakan dengan Surah-surah yang memakai awalan-awalan yang lain. Dalam segala hal, bila terdapat huruf-huruf singkatan, di situ ada beberapa sebuatan Qur’an atau Kitab. …”
Sayangnya, penafsir yang konon pengikut Ahmadiyah ini tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa ciri-ciri tersebut bisa muncul.
Di atas sudah penulis sebutkan bahwa karena tidak terpahami secara bahasa. Menjelmalah huruf-huruf itu menjadi huruf-huruf misterius sepanjang masa. Tapi, benarkah tinjauan bahasa dalam hal ini sudah sekali ‘mentok’ alias buntu?
Tinjauan bahasa secara verbal (bunyi yang bersifat kata) memang tidak atau kurang membantu.
Tapi, coba diingat kembali bahwa Al-Qurãn adalah sebuah ilmu, dan ilmu itu diajarkan melalui alat bernama bahasa.
Bahasa adalah sebuah alat yang tersusun dari sejumlah lambang. Bila diucapkan (menjadi bahasa lisan), lambang itu berbentuk bunyi. Bila ditulis (menjadi bahasa tulis), bentuk lambang itu adalah huruf.
Al-Qurãn sendiri, sebagai wahyu, datang kepada Nabi Muhammad dalam bentuk bunyi, bukan huruf. Dan, ternyata, di antara bunyi-bunyi yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad itu, ada sejumlah bunyi yang ketika ditulis muncul menjadi huruf-huruf, antara lain, alif-lãm-mïm.
Apa artinya?
Karena huruf-huruf itu tidak mewakili bunyi apa pun yang kita kenal sebagai kata, maka huruf-huruf itu memang bukan kata. Karena itu, memperlakukannya sebagai kata adalah keliru. Begitu juga ketika dicoba menempatkannya sebagai huruf-huruf singkatan, tanpa petunjuk Allah dan RasulNya, kita jadi cenderung main tebak-tebakan.
Satu sisi yang belum disentuh adalah proporsi huruf-huruf itu dalam bahasa maupun ilmu.
Huruf pada hakikatnya adalah bagian terkecil dari bahasa, dan kerena itu pula – karena ilmu disampaikan melalui bahasa – maka huruf juga merupakan bagian terkecil dari ilmu. Dengan demikian, apa tidak mungkin bila huruf-huruf ‘misterius’ itu adalah lambang bahasa sekaligus ilmu (yakni Al-Qurãn)?
Lantas, bila memang merupakan lambang bahasa dan ilmu, mengapa pula lambang itu tidak hanya satu? Mengapa setelah alif-lãm-mïm harus ada alif-lãm-rã, alif-lãm-shãd, dan lain-lain?
Jawabannya bukan alif-lãm-mïm, alif-lãm-rã, alif-lãm-shãd yang menjadi lambang, tapi semua huruf adalah lambang, yaitu lambang bahasa sekaligus lambang ilmu. Hanya ‘kebetulan’ dalam Al-Qurãn yang ditampilkan adalah huruf-huruf tersebut. (Selengkapnya lihat bagan).

Isyarat hadis
Bila kita rujuk sebuah hadis yang bersumber dari Aisyah, kita dapati keterangan bawa wahyu memang tidak seluruhnya hadir dalam bentuk kata-kata, tapi  ada juga yang seperti suara lonceng. Selengkapnya, simaklah hadis riwayat Al-Bukhari ini:
Abdullah bin yusuf bercerita kepada kami; katanya, kami mendapat kabar dari Malik yang mendengar Hisyãm bin ‘Urwah bercerita bahwa ayahnya mendengar dari Aisyah, Ummul-Mu’minïn, r.a. bahwa Harïts bin Hisyãm, r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu datang kepada Anda?” Maka Rasulullah menjawab, “Kadang-kadang ia datang kepadaku seperti dentingan lonceng, dan itulah cara yang paling berat bagiku. Setelah itu, ia (Jibril) pergi, yaitu setelah aku memahami apa yang dikatakannya. Kadang-kadang Sang Malaikat muncul di hadapanku sebagai seorang lelaki, lalu ia mengajariku (wahyu), sampai aku memahami apa yang ia katakan.” (Lalu) kata Aisyah, r.a., “Aku sendiri pernah melihat wahyu datang kepada beliau pada hari yang sangat dingin. Ketika  ia (Jibril) peri meninggalkan beliau, sungguh, dahi beliau mengucurkan keringat.”
Hadis ini jelas memaparkan cara penurunan wahyu, yang ternyata tidak seluruhnya berupa rangkaian bunyi bermakna (kata-kata), tapi ada juga yang seperti suara lonceng (tidak benar-benar sama dengan suara lonceng!). Apa tidak mungkin bila bunyi-bunyi yang seperti lonceng itulah yang akhirnya diucapkan menjadi alif-lãm-mïm dan lain-lain?
Sangat mungkin.
Lagi pula, hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa huruf tidak terpisahkan dari bahasa dan ilmu. Juga bisa menjadi lambang ilmu.
Lebih lanjut, mari kita coba lihat ayat ini (Al-Baqarah ayat 1-2) dari sudut pandang ilmu nahwu:

$O!9# ÇÊÈ   y   7Ï9ºsŒ  Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
Perhatikanlah bahwa alif-lãm-mïm – yang merupakan ayat pertama itu – ternyata dihubungkan oleh kata penunjuk dzãlika dengan kata al-kitãbu.
Dengan demikian, terjemahan lugu dari kalimat ini adalah “alif-lãm-mïm itulah kitab (atau alif-lãm-mïm = al-kitãb). Tegasnya, tak ada ‘arti’ lain dari alif-lãm-mïm, selain al-kitãb (yaitu Al-Qurãn).
Ternyata, susunan inilah - alif-lãm-mïm dzãlikal-kitãbu – yang selanjutnya bisa menjadi rumus untuk memahami surat-surat lain yang diawali dengan “huruf-huruf misterius” itu; karena memang setelah huruf-huruf itu selalu ada isyarat yang menghubungkannya dengan sebutan-sebutan lain dari Al-Qurãn.∆


Tidak ada komentar:

Posting Komentar