Jumat, 04 Februari 2011

Belajar ‘Filsafat’ Lewat Ilmu Sharaf


 Ilmu sharaf (morfologi bahasa Arab) adalah sebuah cabang ilmu bahasa yang sering kali dianggap memusingkan. Karena itulah ilmu ini kadang diplesetkan sebagai ilmu yang membuat orang sakit saraf (gila).
Tapi, siapa sangka bahwa dari ilmu sharaf kita bisa menggali sebuah filsafat kehidupan?
Secara garis besar, ilmu sharaf terbagi menjadi dua bentuk tashrîf , yaitu tashrîf lughawi, dan tashrîf ishthilahi.
Tashrîf lughawi adalah perubahan atau variasi kata kerja mengikuti variasi 14 dhamîr atau kata ganti nama. Variasi ini mengingatkan kita pada fungsi dasar bahasa (lughah), yaitu sebagai alat komunikasi.
 Variasinya dimulai dari kata ganti orang ketiga, atau pihak yang dibicarakan, yang terdiri dari tiga variasi, yaitu (1) huwa (dia, lelaki), (2) huma (mereka berdua, lelaki), dan (3) hum (mereka, lebih dari dua orang, lelaki). Kemudian, (4) hiya (dia, wanita), (5) huma (mereka berdua, wanita), dan (6) hunna (mereka, lebih dari dua orang, wanita).
Berikutnya adalah kata ganti orang kedua, atau lawan bicara, mulai dari (7) anta (kamu, lelaki), (8) antuma (kalian berdua, lelaki), dan (9) antum (kalian, lebih dari dua orang, lelaki). Kemudian, (10) anti (kamu, wanita), (11) antuma (kalian berdua, wanita), dan (12) antunna (kalian, lebih dari dua orang, wanita).
Terakhir adalah kata ganti orang pertama atau pembicara, yaitu (13) ana (aku, lelaki/wanita), dan (14) nahnu (kami, lelaki/wanita).
Filosofinya
Melalui tashrîf lughawi ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa manusia berkembang dari satu (mufrad) menjadi dua (mutsanna), dan seterusnya menjadi banyak (jam’un). Selain itu, manusia juga diciptakan berpasangan, pria dan wanita. Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari, manusia secara dinamis dan bergiliran menempati posisi-posisi tertentu.
Sungguh menarik bahwa dalam ilmu sharaf dhamîr (kata ganti  nama) itu disusun mulai dari orang ketiga, yaitu objek atau bahan pembicaraan, bukan dari orang pertama atau pembicara. Boleh jadi ini merupakan isyarat atau peringatan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang disorot atau dimonitor. Dengan kata lain, ini merupakan peringatan bahwa manusia pada hakikatnya bukanlah makhluk yang bebas, bahkan juga bukan makhluk yang mandiri! Dan, sudah pasti, manusia juga bukanlah sesuau yang tiba-tiba muncul sendiri, tapi dia muncul karena ada yang memunculkan (menciptakan).
Dalam keadaan seperti di atas itu, manusia tentu membutuhkan bantuan dan bimbingan untuk bisa hidup di bumi ini. Maka setelah orang ketiga, dhamîr berikutnya adalah untuk orang kedua. Ini seolah merupakan isyarat bahwa Sang Pencipta mengajak manusia untuk berkomunikasi, untuk menjadi lawan bicaraNya. Dan, setelah itu, Sang Pencipta pun mengajarkan konsep hidup dan memberikan bimbingan.
Satelah penciptanya mengajarkan konsep hidup dan bimbingan, barulah manusia mampu tampil sebagai ‘pembicara’, baik sebagai “aku” (ana), yang mewakili dirinya sendiri maupun sebagai “kami/kita” (nahnu) yang mewakili pihak atau kelompoknya! Itulah pelajaran yang tersirat dari dhamîr mutakallim wahdah (aku) dan mutakallim ma’ahu ghairuhu (nahnu).
Berkembang
Manusia yang tercipta dari nafsin wãhidah (satu diri atau satu rumusan? Surat An-Nisã’ ayat 1), lahir dari kandungan ibu tanpa membawa ilmu (An-Nahl ayat 79), selanjutnya tumbuh berkembang menjadi masyarakat manusia yang terdiri dari pria dan wanita.
Melalui wahyuNya, Allah menempatkan manusia sebagai bahan pembicaraan (objek). Ia menyorot dan memantau manusia. Tapi, Ia juga menempatkan manusia menjadi lawan bicaraNya, membahas alam dan kehidupan, dan mempersilakan manusia untuk tampil sebagai pembicara (subjek).
Sebagai bahan pembicaraan, manusia disorot kebaikan dan keburukannya. Kekuatan dan kelemahannya. Sebagai lawan bicara, manusia diangkat derajatnya melebihi hewan dan seluruh makhlukNya. Bahkan, sebagai lawan bicara Allah, yang kemudian karena itu ia bisa menerima ilmuNya, maka manusia dimunculkan menjadi makhluk yang memiliki sifat-sifat yang mirip dengan Allah, yaitu menjadi makhluk yang mampu berkreasi (mencipta).
Tapi, setelah mampu berkreasi, manusia juga bisa kebablasan (melampaui batas).
Setelah mampu mencipta, manusia bisa menjadi para aku dan kami yang sombong. Melupakan jasa dan amanah Sang Mahapencipta.
Tashrîf ishthilãhi
Tashrîf ishthilãhi, sesuai namanya, mencakup berbagai jenis kata yang disebut dengan istilah-istilah (nama-nama) tertentu. Variasinya dimulai dari fi’lul-mãdhi, fi’lul-mudhãri’, al-mashdar, ismul-fã’il, ismul-maf’ûl, fi’lul-amri, fi’lun-nahyi, ismul-ãlah, ismul-makãn, ismuz-zamãn, fi’lul-mãdhil-majhûl, fi’lul-mudhãri’il- majhûl.
Bila tashrîf lughawi mengingatkan kita pada fungsi dasar bahasa (lughah) sebagai alat komunikasi, tashrîf ishthilãhi mengingatkan bahwa dalam sebuah bahasa ada istilah-istilah, yang mewakili bentuk pemikiran atau konsep budaya (hidup) tertentu, yang uraiannya kira-kira seperti di bawah ini.
Pertama, dalam fi’lul-mãdhi, terkandung pesan tentang adanya dimensi waktu yang tidak pernah kita alami, bahkan merupakan sebuah misteri. Yaitu dimensi waktu lampau. Selain itu, ada juga dimensi waktu lampau yang di dalamnya kita pernah berkiprah, tapi kita tak bisa masuk lagi ke sana. Satu-satunya yang bisa kita bawa dari masa lampau adalah kenangan, yang di dalamnya juga terkandung sejumlah pelajaran.
Kedua, dalam fi’lul-mudhãri’, terkandung pesan tentang dimensi waktu masa kini dan masa nanti. Masa kini adalah masa yang kita hadapi. Bagaimana cara kita menghadapi masa kini, hari ini? Sementara masa nanti, sama seperti masa lampau, adalah misteri. Dalam arti, bisa jadi besok kita masih dalam keadaan segar bugar, sehat wal-afiat, seperti sekarang. Boleh jadi kita menemukan hal sebaliknya. Karena itu, bila tidak mengisi sebaik-baiknya masa sekarang, bisa jadi besok kita merasakan penyesalan.
Selain mencakup dimensi waktu sekarang dan yang akan datang, fi’lul-mudhãri’ juga mengingatkan tentang adanya hal-hal yang berlangsung terus-menerus (istimrãr), dari dulu, sekarang, dan nanti. Dengan kata lain, fi’lul-mudhãri’ mengingatkan tentang adanya sesuatu yang bisa bertahan melintasi waktu demi waktu. Apakah itu gerangan? Dalam kaitan dengan manusia, sesuatu yang mampu bertahan melintasi waktu demi waktu itu tak lain adalah falsafah hidup, alias pandangan hidup kita sendiri.
Pandangan hidup memang bukan sesuatu yang bisa lapuk termakan waktu. Bukan seuatu yang bisa terperangkap dalam dimensi masa lampau. Ia bisa bertahan melintasi waktu demi waktu, seiring dengan kesadaran kita sendiri untuk menjaganya.
Ketiga, al-mashdar, yang antara lain berarti “kata kerja yang tidak terikat waktu” (infinitive verb), mengingatkan bahwa kita – sebagai manusia – bisa jadi terus-menerus melakukan suatu kegiatan yang sama. Dan, “kegiatan yang sama” itu, bisa jadi bernilai baik, bisa jadi pula sebaliknya. Selain itu, al-mashdar juga bisa berarti “objek yang tersembunyi” dari kata kerjanya (internal object). Ini mengandung pesan agar kita mencermati keadaan (posisi) kita sekarang. Jangan-jangan kita ini – secara tak sadar – telah, sedang, akan, dan terus-menerus – menjadi objek dari sebuah fi’lun (pekerjaan, tindakan) yang memposisikan kita sebagai korban! Siapa, atau apa, gerangan yang mengorbankan (victimize) kita?
Keempat, ismul-fã’il (kata pelaku, aktor), mengingatkan bahwa manusia – tanpa kecuali – adalah “pelaku” dari banyak perbuatan, yang pasti tidak bebas nilai. Apa yang sedang jadi aktor apakah kita sekarang? Sedang jadi tokoh protagonis atau antagonis (jahat)?
Kelima, ismul-maf’ûl, mengingatkan bahwa manusia ada kalanya menjadi objek. Tidak selalu bahwa menjadi objek itu berarti jelek.  Penentu nilainya adalah siapakah, atau (konsep) apakah yang menempatkan kita sebagai objek? Allahkah dengan ajaranNyakah? Atau seseorang yang tak lebih baik dari kita? Atau sebuah benda? Atau hanya sebuah kegemaran (hobi) tak berharga, seperti hobi mengadu ayam, main gaple, dan lain-lain hobi remeh (bahkan buruk)?
Keenam, dari fi’lul-amri dan  fi’lun-nahyi, kita bisa tarik pelajaran bahwa hukum dasar dari hidup ini adalah perintah dan larangan. Tapi, hukum siapa yang kita patuhi? Hukum Allahkah? Atau hukum orang lain? Atau hukum (ego) kita sendiri?
Ketujuh, dari ismul-ãlah, ismul-makãn, ismuz-zamãn, kita dapat tarik pelajaran bahwa hidup itu butuh sarana (ma’îsyah). Allah telah menyediakan segalanya; mulai dari benda, tempat, dan waktu. Semua adalah sarana hidup. Tapi, kehidupan apakah yang kita jalankan?
Beruntunglah orang yang telah menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Sebaliknya, celakalah orang yang masih bingung menyebut jawaban. Sebab, sementara segala sarana itu (benda, tempat, waktu) masih tersedia, kita sendiri mungkin sudaha tidak diberi kesempatan lagi untuk melanjutkan hidup! ∆

Tidak ada komentar:

Posting Komentar